Lilin-lilin Kecil
Diyah
Ayuk Wulandari
Angin sore yang sejuk membelai wajah Linda. Ia duduk sendiri,
memangku laptop sambil memandangi foto-foto keluarga, teman-teman, dan
semua kenangan yang ia tinggalkan di Semarang, kota kelahirannya. Ada rasa
rindu dan keharuan menyeruak hatinya. Semua kemewahan ia tinggalkan untuk
mencari jawaban atas keresahan hatinya selama ini. Enam bulan yang lalu ia
memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia Mengajar, sebuah program
untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan, menjadi pengajar muda di daerah
terpencil yang jauh dari fasilitas dan kemewahan duniawi. Ia tersesat di desa
jauh terpencil di Lombang Barat Majene, Sulawesi Barat.
Linda mengambil kertas-kertas kecil hasil
lukisan anak-anak SD tempat ia mengajar. Diamatinya satu persatu hasil karya
mereka. Ia tersenyum haru ketika menemukan sebuah lukisan sederhana yang
menggambarkan seorang guru sedang mengajar. Di bawah lukisan itu, tertulis kalimat
sederhana penuh makna “Aku Sayang Guruku.” Butiran-butiran bening tak terasa
pelan melewati pipinya. Ia merasa terharu betapa anak-anak itu sangat
menyayanginya. Anak-anak yang akan tumbuh menjadi tunas-tunas penerus bangsa,
penjaga cita-cita pahlawan Negeri.
̽“Yeah! Legaaa” Teriak Linda penuh semangat. Teman-teman mendekati
dan memberikan ucapan selamat. Ujian skripsi yang lumayan berat telah berhasil
dilaluinya dan mendapatkan nilai yang memuaskan.
“Jangan lupa besok makan-makan, lho,”
kata Sinta, sahabatnya.
“Beres, jangan khawatir soal itu,”
jawab Linda dengan enteng. “Tak apalah keluar uang ekstra buat merayakan
kelulusanku,” pikirnya.
“Kita bakar ikan di pantai ya, Lin.”
Sahut Anton. Ia adalah teman lain jurusan dengannya. Anton menyempatkan diri
bolos kuliah untuk ikut menghadiri itle skripsinya. Teman-temannya mengatakan
bahwa Anton menaruh hati padanya. Sebenarnya, Linda juga merasa suka padanya.
Tetapi, perasaan itu tidak pernah mereka munculkan secara langsung, hanya lewat
tatapan mata dan perhatian. Keduanya tahu bahwa hati mereka saling terkait.
Acara bakar ikan berlangsung meriah.
Hampir semua teman seangkatan hadir merayakan keberhasilannya dalam ujian
skripsi. Senyum, canda, tawa menghiasi wajah-wajah anak muda itu. Akan tetapi,
tidak demikian dengan dirinya. Ia termenung sendiri di bawah pohon, merenungkan
makna hidup yang telah ia jalani selama ini. Tadi pagi, secara tidak sengaja ia
membaca program Indonesia Mengajar yang menawarkan pengabdian kepada
pendidikan. Tantangan menjadi pengajar muda di sekolah-sekolah terpencil, tanpa
gaji, tanpa kemewahan, hanya atas nama kemanusiaan. Brosur itu telah mengetuk
pintu hatinya. Kebimbangan mendera hati karena sebentar lagi, ia akan diwisuda,
mendapatkan itle Sarjana Teknik dan bersiap untuk bekerja di perusahaan
ayahnya. Kehidupan yang menyenangkan akan segera dia dapatkan. “Wah, enak ya
jadi kamu, masa depan sudah terjamin. Nggak kayak aku, harus nyari kerja
dulu, huh…ngebayangin aja susahnya minta ampun,” celetuk Shinta,
sahabatnya. Linda terdiam. Apa yang dikatakan teman-temannya memang benar
adanya. Ia tidak usah memikirkan mencari kerja. Semua sudah tersedia, tinggal
dia jalani. Tetapi di lubuk hatinya sekarang, ia merasa ada yang membuatnya
gelisah.
*****
Linda menghampiri ayah dan ibunya yang sedang asyik menonton televisi di ruang
keluarga. Ragu sempat menghampirinya, tetapi ia mencoba menguatkan hati,
mengutarakan kegelisahannya.
“Ayah, ibu, Linda ingin bicara,” kata Linda sambil duduk di tengah-tengah ayah
ibunya.
“Ya, ada apa?” Tanya ayah sambil mengecilkan volume televisi.
“Linda ingin mengikuti program pengajar muda di daerah tertinggal, ayah.”
Jawabnya sambil menyerahkan brosur Indonesia Mengajar kepada ayahnya.
Sejenak orang tua Linda terdiam. Ayah membaca brosur itu pelan-pelan, demikian
juga ibunya.
Keheningan melingkupi ruang keluarga yang luas dan mewah itu.
“Apa kamu udah yakin dengan pilihanmu
itu, Linda? Kamu akan meninggalkan kami selama satu tahun, berada di daerah
terpencil, jauh dari kami, orang tua kamu, teman-teman kamu.” Tanya ibunya. Ada
nada khawatir bercampur sedih dalam suara orang yang sangat dikasihinya
itu.
“ Ya, Ibu. Linda sudah yakin dengan pilihan ini” Jawab Linda
“Bagaimana kalau kamu tidak kerasan, atau bahkan sakit? Apa kamu nanti bisa
mengatasinya sendiri?” Timpal ayahnya.
“Kalau tidak kerasan, kan Linda bisa nelpon ayah dan ibu. Dan jika Linda sakit,
kan di sana ada Puskesmas atau dokter. Linda tahu, kalau kehidupan di daerah
terpencil sangat sulit karena tidak ada fasilitas seperti di sini. Tetapi,
ayah, ibu, Linda ingin mencari jawaban dari kegelisahan hati yang akhir-akhir
ini semakin kuat.” Jawab Linda dengan yakin.
“ Baiklah kalau keinginan hatimu memang seperti itu. Ayah dan ibu hanya bisa
berharap semoga kamu nanti baik-baik saja. Walaupun berat, kami akan merestui
keinginan kamu. Semoga kamu bisa mandiri di sana, dan menemukan apa yang kamu
cari selama ini.” Kata ayahnya dengan lembut. Linda tahu, ayahnya adalah orang
yang sangat bijaksana dan membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya
sendiri, selama itu baik.
Linda memeluk orang tuanya dengan erat.
“Apa? Kamu sudah gila, ya Lin.” Teriak Shinta. Ia tidak percaya sahabatnya
punya keinginan yang jauh dari bayangannya.
“Kamu ingin mengajar di daerah yang tidak ada listrik, tidak ada telepon, tidak
ada internet. Apa kamu yakin akan berhasil?” Tanya Ronald ragu. Ia tahu bahwa
selama ini Linda semua kebutuhan tercukupi dengan baik. Ayah Linda adalah
pemilik perusahaan jasa konstruksi yang ternama di Semarang.
Linda mengangguk sambil tersenyum yakin. Tekadnya sudah bulat. Ia akan
membuktikan pada teman-temannya bahwa ia akan mampu menjadi pengajar bagi
anak-anak yang tinggal di daerah terpencil. Ia tahu bahwa tantangan yang
berat akan menghadang langkahnya, tetapi ia yakin akan berhasil melewatinya.
“Bawalah ini bersamamu, bacalah saat hatimu gelisah. Semoga ia bisa
menenangkanmu.” Kata Anton sambil menyerahkan sebuah bingkisan terbungkus
kertas putih. Dibukanya kertas itu perlahan-lahan. Sebuah Al Qur’an. Linda
menatap Al Qur’an itu beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya kepada
laki-laki di hadapannya.
“Terima kasih. Aku akan berusaha untuk membacanya setiap waktu.”
“Kembalilah dengan menjadi pribadi yang lebih baik. Aku akan menunggumu”. Anton
menjabat tangan Linda dengan erat. Sesaat kemudian kedua pasang mata itu saling
bertatapan, saling menyampaikan isi hati masing-masing yang tidak bisa
diucapkan oleh lidah yang kelu.
Linda mengikuti semua pembekalan dan persiapan menjadi pengajar muda dengan
penuh semangat. Ia akan mendapatkan tugas mengajar anak-anak SD Lombang Barat,
Majene. Tantangan baru akan segera dihadapinya dan ia telah menantikan itu.
Besok adalah hari keberangkatannya.
“Selamat datang di desa kami.” Sapa seorang laki-laki setengah tua sambil
tersenyum dan menjabat tangan Linda. Laki-laki itu, Pak Rahmad, begitulah pera
penduduk desa menyepanya, adalah kepala desa setempat. Ia berperawakan tinggi,
tegap, dengan kulit coklat dan rambut ikal. Tipikal khas penduduk Sulawesi.
Linda tersenyum, tapi tidak begitu memperhatikan orang di hadapannya. Matanya
terpaku pada hamparan alam di depannya. Di hadapannya terhampar padang rumput
yang indah, dengan pohon-pohon yang tinggi besar, dan nun jauh di sana,
pegunungan tinggi dengan kabut tipis di atasnya. Sungguh pemandangan alam yang
indah.
“ Ya, terima kasih pak?”
jawab Linda setengah tergagap. Ia masih terpaku pada keindahan alam di
depannya.
“Kami akan mengantar Ibu ke SD kami. Perjalanannya cukup jauh bu, jaraknya
sekitar 4 kilometer. Apabila ibu nanti merasa lelah dan ingin beristirahat,
silakan bilang pada kami.”
“Ya, terima kasih pak,”
jawab Linda bersemangat. “Perjalanan ini akan sangat menyenangkan,” pikirnya.
Ia akan segera menikmati indahnya daerah ini.
“ Kalau begitu, mari bu. Kita akan berjalan kaki, karena medannya cukup berat.
Mobil tidak dapat melintasi jalan di sini.”
Linda tertegun. Ia pikir akan duduk manis di atas mobil segala medan,
terguncang-guncang sambil menikmati merdunya kicauan burung, monyet-monyet yang
bergelantungan, dan indahnya alam seperti yang biasa ia lihat di televisi.
“Aduh, jalan kaki 5 kilometer!” Ia tahu bahwa perjalanan akan sangat
melelahkan.
Apa yang ia pikirkan ternyata tidak salah. Medan yang ia lalui sangatlah berat.
Jalan tanah terjal, dengan bebatuan yang tajam menguras kondisi fisiknya. Ia mulai
merasakan kakinya berat melangkah.
“Masih jauhkah, Pak?” Tanya Linda sambil mengatur napas. Mereka berhenti untuk
beristirahat. Pak Rahmad tersenyum. Ia tahu bahwa perempuan muda di depannya
ini adalah orang kota yang selalu mendapatkan kemudahan dalam pekerjaannya. Dan
berjalan melintasi bukit, menyeberangi sungai berarus deras, telah membuat
Linda merasakan kelelahan yang luar biasa. Pak Rahmad meminta perangkat desa
yang menemaninya untuk memberikan bekal air dan makanan kepada Linda.
“Masih dua kilo lagi, ibu. Sekolah kita berada di balik bukit itu,” jawab Pak
Rahmad sembari menunjuk sebuah bukit yang terlihat sudah amat dekat, tetapi
apabila didekati, masih sekitar 1 jam lagi.
Linda menatap bukit itu dengan tertegun. Perjalanan yang sungguh berat, dan akan
dia lalui setiap hari ketika ia menjadi pengajar SD. Ingin rasanya Linda
kembali ke Semarang, membatalkan niatnya mengabdi pada pendidikan dan kembali
ke tengah-tengah kemewahan. Tetapi apa kata temannya nanti apabila ia kalah
sebelum bertanding. Ia membuka tas ranselnya, mencari-cari kue yang dapat
dimakan untuk mengganjal perutnya. Tangannya memegang bungkusan berwarna putih,
Al Qur’an. Ingatannya langsung menuju kepada Anton. “Kembalilah menjadi pribadi
yang lebih baik.”
Linda menguatkan hatinya. Ia bangkit dan kembali berjalan mengikuti
langkah-langkah tegap Pak Rahmad dan dua orang perangkat desa. Semangatnya
tumbuh kembali. Ia ingin menemui murid-murid di sana, mengajar di tengah-tengah
mereka dan menyalakan api semangat bagi mereka.
Akhirnya, sampailah rombongan itu di sebuah sekolah dasar yang hanya terdiri
dari satu bangunan memanjang. Bangunan itu sebenarnya tidak layak di sebut
sekolah karena kondisinya memprihatinkan. Kembali Linda tertegun. Perbedaan
yang sungguh terlihat jelas antara sekolah di kota kelahirannya dengan sekolah
di tempat terpencil. “Padahal anak-anak ini adalah juga anak-anak Indonesia.
Mereka berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak lain di kota.
Pemerintah tidak benar-benar serius pada pendidikan,” pikirnya.
Hanya ada 40 siswa di
sekolah itu. Linda mendapat tugas mengajar kelas IV dengan jumlah siswa tidak
lebih dari 10 anak. Perkenalannya dengan anak-anak berlangsung datar. “Mungkin
anak-anak ini masih malu, dan belum terbiasa dengan kehadiran orang luar,”
pikirnya.
Setelah berjalan beberapa hari, anak-anak itu mulai akrab dengannya. Ia juga
sudah hafal nama-nama mereka, 4 laki-laki, dan 6 perempuan. Menjadi pengajar
bagi anak-anak SD membutuhkan kesabaran dan usaha yang sangat besar. Linda
menjadi guru pada semua jenis pelajaran, bahasa Indonesia, IPA, IPS, melukis,
dan lain-lain. Terkadang ia juga berperan sebagai teman belajar bagi mereka,
atau sebagai kakak yang harus bisa melerai perkelahian. Seiring berjalannya
waktu, pertemanan antara dirinya dengan anak-anak itu semakin erat. Anak-anak
itu sangat tertarik diajar oleh Linda karena ia bisa membangkitkan semangat
belajar dan mereka mulai berani menuliskan cita-cita. Mereka menuliskan
cita-citanya pada perahu mimpi, selembar kertas yang digunting Linda mirip
perahu dan di atasnya tertulis cita-cita luhur anak-anak bangsa.
Linda semakin bersemangat mengajar anak-anak ini. Ia ingin menyalakan dan terus
menjaga api semangat pada diri mereka. “Lilin-lilin kecil ini tidak boleh
padam. Mereka harus terus menyala, menjadi penerang bagi negeri” tekad Linda.
Jepara, November 2012
Penulis
Cerpen
ini pernah diikutkan dalam lomba menulis Cerpen “Semarak Indonesia” Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES Semarang 2012
0 komentar:
Posting Komentar