this my blog

Minggu, 06 Maret 2016

CERPENKU :)


Lilin-lilin Kecil
Diyah Ayuk Wulandari

                 Angin sore yang sejuk membelai wajah Linda.  Ia duduk  sendiri, memangku laptop sambil memandangi foto-foto keluarga, teman-teman, dan semua kenangan yang ia tinggalkan di Semarang, kota kelahirannya. Ada rasa rindu dan keharuan menyeruak hatinya. Semua kemewahan ia tinggalkan untuk mencari jawaban atas keresahan hatinya selama ini. Enam bulan yang lalu ia memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia Mengajar, sebuah program untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan, menjadi pengajar muda di daerah terpencil yang jauh dari fasilitas dan kemewahan duniawi. Ia tersesat di desa jauh terpencil di Lombang Barat Majene, Sulawesi Barat.
Linda mengambil kertas-kertas kecil hasil lukisan anak-anak SD tempat ia mengajar. Diamatinya satu persatu hasil karya mereka. Ia tersenyum haru ketika menemukan sebuah lukisan sederhana yang menggambarkan seorang guru sedang mengajar. Di bawah lukisan itu, tertulis kalimat sederhana penuh makna “Aku Sayang Guruku.” Butiran-butiran bening tak terasa pelan melewati pipinya. Ia merasa terharu betapa anak-anak itu sangat menyayanginya. Anak-anak yang akan tumbuh menjadi tunas-tunas penerus bangsa, penjaga cita-cita pahlawan Negeri.

̽Yeah! Legaaa Teriak Linda penuh semangat. Teman-teman mendekati dan memberikan ucapan selamat. Ujian skripsi yang lumayan berat telah berhasil dilaluinya dan mendapatkan nilai yang memuaskan.
“Jangan lupa besok makan-makan, lho,” kata Sinta, sahabatnya.
“Beres, jangan khawatir soal itu,”  jawab Linda dengan enteng. “Tak apalah keluar uang ekstra buat merayakan kelulusanku,” pikirnya.
“Kita bakar ikan di pantai ya, Lin.” Sahut Anton. Ia adalah teman lain jurusan dengannya. Anton menyempatkan diri bolos kuliah untuk ikut menghadiri itle skripsinya. Teman-temannya mengatakan bahwa Anton menaruh hati padanya. Sebenarnya, Linda juga merasa suka padanya. Tetapi, perasaan itu tidak pernah mereka munculkan secara langsung, hanya lewat tatapan mata dan perhatian. Keduanya tahu bahwa hati mereka saling terkait.
Acara bakar ikan berlangsung meriah. Hampir semua teman seangkatan hadir merayakan keberhasilannya dalam ujian skripsi. Senyum, canda, tawa menghiasi wajah-wajah anak muda itu. Akan tetapi, tidak demikian dengan dirinya. Ia termenung sendiri di bawah pohon, merenungkan makna hidup yang telah ia jalani selama ini. Tadi pagi, secara tidak sengaja ia membaca program Indonesia Mengajar yang menawarkan pengabdian kepada pendidikan. Tantangan menjadi pengajar muda di sekolah-sekolah terpencil, tanpa gaji, tanpa kemewahan, hanya atas nama kemanusiaan. Brosur itu telah mengetuk pintu hatinya. Kebimbangan mendera hati karena sebentar lagi, ia akan diwisuda, mendapatkan itle Sarjana Teknik dan bersiap untuk bekerja di perusahaan ayahnya. Kehidupan yang menyenangkan akan segera dia dapatkan. “Wah, enak ya jadi kamu, masa depan sudah terjamin. Nggak kayak aku, harus nyari kerja dulu, huh…ngebayangin aja susahnya minta ampun,” celetuk Shinta, sahabatnya. Linda terdiam. Apa yang dikatakan teman-temannya memang benar adanya. Ia tidak usah memikirkan mencari kerja. Semua sudah tersedia, tinggal dia jalani. Tetapi di lubuk hatinya sekarang, ia merasa ada yang membuatnya gelisah.
*****
                 Linda menghampiri ayah dan ibunya yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Ragu sempat menghampirinya, tetapi ia mencoba menguatkan hati, mengutarakan kegelisahannya.
                 “Ayah, ibu, Linda ingin bicara,” kata Linda sambil duduk di tengah-tengah ayah ibunya.
                 “Ya, ada apa?” Tanya ayah sambil mengecilkan volume televisi.
                 “Linda ingin mengikuti program pengajar muda di daerah tertinggal, ayah.” Jawabnya sambil menyerahkan brosur Indonesia Mengajar kepada ayahnya. Sejenak orang tua Linda terdiam. Ayah membaca brosur itu pelan-pelan, demikian juga ibunya.
                 Keheningan melingkupi ruang keluarga yang luas dan mewah itu.
“Apa kamu udah yakin dengan pilihanmu itu, Linda? Kamu akan meninggalkan kami selama satu tahun, berada di daerah terpencil, jauh dari kami, orang tua kamu, teman-teman kamu.” Tanya ibunya. Ada nada khawatir bercampur sedih dalam suara orang yang sangat dikasihinya itu. 
                 “ Ya, Ibu. Linda sudah yakin dengan pilihan ini” Jawab Linda
                 “Bagaimana kalau kamu tidak kerasan, atau bahkan sakit? Apa kamu nanti bisa mengatasinya sendiri?” Timpal ayahnya. 
                 “Kalau tidak kerasan, kan Linda bisa nelpon ayah dan ibu. Dan jika Linda sakit, kan di sana ada Puskesmas atau dokter. Linda tahu, kalau kehidupan di daerah terpencil sangat sulit karena tidak ada fasilitas seperti di sini. Tetapi, ayah, ibu, Linda ingin mencari jawaban dari kegelisahan hati yang akhir-akhir ini semakin kuat.” Jawab Linda dengan yakin. 
                 “ Baiklah kalau keinginan hatimu memang seperti itu. Ayah dan ibu hanya bisa berharap semoga kamu nanti baik-baik saja. Walaupun berat, kami akan merestui keinginan kamu. Semoga kamu bisa mandiri di sana, dan menemukan apa yang kamu cari selama ini.” Kata ayahnya dengan lembut. Linda tahu, ayahnya adalah orang yang sangat bijaksana dan membebaskan anak-anaknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, selama itu baik.
Linda memeluk orang tuanya dengan erat.
                
                 “Apa? Kamu sudah gila, ya Lin.” Teriak Shinta. Ia tidak percaya sahabatnya punya keinginan yang jauh dari bayangannya.
                 “Kamu ingin mengajar di daerah yang tidak ada listrik, tidak ada telepon, tidak ada internet. Apa kamu yakin akan berhasil?” Tanya Ronald ragu. Ia tahu bahwa selama ini Linda semua kebutuhan tercukupi dengan baik. Ayah Linda adalah pemilik perusahaan jasa konstruksi yang ternama di Semarang.
                 Linda mengangguk sambil tersenyum yakin. Tekadnya sudah bulat. Ia akan membuktikan pada teman-temannya bahwa ia akan mampu menjadi pengajar bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil.  Ia tahu bahwa tantangan yang berat akan menghadang langkahnya, tetapi ia yakin akan berhasil melewatinya.
                 “Bawalah ini bersamamu, bacalah saat hatimu gelisah. Semoga ia bisa menenangkanmu.” Kata Anton sambil menyerahkan sebuah bingkisan terbungkus kertas putih. Dibukanya kertas itu perlahan-lahan. Sebuah Al Qur’an. Linda menatap Al Qur’an itu beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya kepada laki-laki di hadapannya.
                 “Terima kasih. Aku akan berusaha untuk membacanya setiap waktu.”
                 “Kembalilah dengan menjadi pribadi yang lebih baik. Aku akan menunggumu”. Anton menjabat tangan Linda dengan erat. Sesaat kemudian kedua pasang mata itu saling bertatapan, saling menyampaikan isi hati masing-masing yang tidak bisa diucapkan oleh lidah yang kelu.
                 Linda mengikuti semua pembekalan dan persiapan menjadi pengajar muda dengan penuh semangat. Ia akan mendapatkan tugas mengajar anak-anak SD Lombang Barat, Majene. Tantangan baru akan segera dihadapinya dan ia telah menantikan itu.
                 Besok adalah hari keberangkatannya. 

                 “Selamat datang di desa kami.” Sapa seorang laki-laki setengah tua sambil tersenyum dan menjabat tangan Linda. Laki-laki itu, Pak Rahmad, begitulah pera penduduk desa menyepanya, adalah kepala desa setempat. Ia berperawakan tinggi, tegap, dengan kulit coklat dan rambut ikal. Tipikal khas penduduk Sulawesi. Linda tersenyum, tapi tidak begitu memperhatikan orang di hadapannya. Matanya terpaku pada hamparan alam di depannya. Di hadapannya terhampar padang rumput yang indah, dengan pohon-pohon yang tinggi besar, dan nun jauh di sana, pegunungan tinggi dengan kabut tipis di atasnya. Sungguh pemandangan alam yang indah. 
                 “ Ya, terima kasih pak?” jawab Linda setengah tergagap. Ia masih terpaku pada keindahan alam di depannya.
                 “Kami akan mengantar Ibu ke SD kami. Perjalanannya cukup jauh bu, jaraknya sekitar 4 kilometer. Apabila ibu nanti merasa lelah dan ingin beristirahat, silakan bilang pada kami.”
                 “Ya, terima kasih pak,” jawab Linda bersemangat. “Perjalanan ini akan sangat menyenangkan,” pikirnya. Ia akan segera menikmati indahnya daerah ini. 
                 “ Kalau begitu, mari bu. Kita akan berjalan kaki, karena medannya cukup berat. Mobil tidak dapat melintasi jalan di sini.”
                 Linda tertegun. Ia pikir akan duduk manis di atas mobil segala medan, terguncang-guncang sambil menikmati merdunya kicauan burung, monyet-monyet yang bergelantungan, dan indahnya alam seperti yang biasa ia lihat di televisi. “Aduh, jalan kaki 5 kilometer!” Ia tahu bahwa perjalanan akan sangat melelahkan.
                 Apa yang ia pikirkan ternyata tidak salah. Medan yang ia lalui sangatlah berat. Jalan tanah terjal, dengan bebatuan yang tajam menguras kondisi fisiknya. Ia mulai merasakan kakinya berat melangkah.
                 “Masih jauhkah, Pak?” Tanya Linda sambil mengatur napas. Mereka berhenti untuk beristirahat. Pak Rahmad tersenyum. Ia tahu bahwa perempuan muda di depannya ini adalah orang kota yang selalu mendapatkan kemudahan dalam pekerjaannya. Dan berjalan melintasi bukit, menyeberangi sungai berarus deras, telah membuat Linda merasakan kelelahan yang luar biasa. Pak Rahmad meminta perangkat desa yang menemaninya untuk memberikan bekal air dan makanan kepada Linda.
                 “Masih dua kilo lagi, ibu. Sekolah kita berada di balik bukit itu,” jawab Pak Rahmad sembari menunjuk sebuah bukit yang terlihat sudah amat dekat, tetapi apabila didekati, masih sekitar 1 jam lagi.   
                 Linda menatap bukit itu dengan tertegun. Perjalanan yang sungguh berat, dan akan dia lalui setiap hari ketika ia menjadi pengajar SD. Ingin rasanya Linda kembali ke Semarang, membatalkan niatnya mengabdi pada pendidikan dan kembali ke tengah-tengah kemewahan. Tetapi apa kata temannya nanti apabila ia kalah sebelum bertanding. Ia membuka tas ranselnya, mencari-cari kue yang dapat dimakan untuk mengganjal perutnya. Tangannya memegang bungkusan berwarna putih, Al Qur’an. Ingatannya langsung menuju kepada Anton. “Kembalilah menjadi pribadi yang lebih baik.”
                 Linda menguatkan hatinya. Ia bangkit dan kembali berjalan mengikuti langkah-langkah tegap Pak Rahmad dan dua orang perangkat desa. Semangatnya tumbuh kembali. Ia ingin menemui murid-murid di sana, mengajar di tengah-tengah mereka dan menyalakan api semangat bagi mereka.
                 Akhirnya, sampailah rombongan itu di sebuah sekolah dasar yang hanya terdiri dari satu bangunan memanjang. Bangunan itu sebenarnya tidak layak di sebut sekolah  karena kondisinya memprihatinkan. Kembali Linda tertegun. Perbedaan yang sungguh terlihat jelas antara sekolah di kota kelahirannya dengan sekolah di tempat terpencil. “Padahal anak-anak ini adalah juga anak-anak Indonesia. Mereka berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak lain di kota. Pemerintah tidak benar-benar serius pada pendidikan,” pikirnya.
                 Hanya ada 40 siswa di sekolah itu. Linda mendapat tugas mengajar kelas IV dengan jumlah siswa tidak lebih dari 10 anak. Perkenalannya dengan anak-anak berlangsung datar. “Mungkin anak-anak ini masih malu, dan belum terbiasa dengan kehadiran orang luar,” pikirnya. 
                 Setelah berjalan beberapa hari, anak-anak itu mulai akrab dengannya. Ia juga sudah hafal nama-nama mereka, 4 laki-laki, dan 6 perempuan. Menjadi pengajar bagi anak-anak SD membutuhkan kesabaran dan usaha yang sangat besar. Linda menjadi guru pada semua jenis pelajaran, bahasa Indonesia, IPA, IPS, melukis, dan lain-lain. Terkadang ia juga berperan sebagai teman belajar bagi mereka, atau sebagai kakak yang harus bisa melerai perkelahian. Seiring berjalannya waktu, pertemanan antara dirinya dengan anak-anak itu semakin erat. Anak-anak itu sangat tertarik diajar oleh Linda karena ia bisa membangkitkan semangat belajar dan mereka mulai berani menuliskan cita-cita. Mereka menuliskan cita-citanya pada perahu mimpi, selembar kertas yang digunting Linda mirip perahu dan di atasnya tertulis cita-cita luhur anak-anak bangsa.
                 Linda semakin bersemangat mengajar anak-anak ini. Ia ingin menyalakan dan terus menjaga api semangat pada diri mereka. “Lilin-lilin kecil ini tidak boleh padam. Mereka harus terus menyala, menjadi penerang bagi negeri” tekad Linda.


                                                                                                     Jepara, November 2012

                                                                                                     Penulis
Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba menulis Cerpen “Semarak Indonesia” Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES Semarang 2012
                

0 komentar:

Posting Komentar