Mengharap
Sang Bulan Datang
Malam
yang cerah. Langit terbentang luas tanpa diselimuti awan. Bintang tersebar menjadi lukisan
dilangit. Perkampungan dimana sampah-sampah yang menumpuk di sana-sini dan
sungai yang digunakan Ibu-Ibu untuk
mencuci dan tempat anak-anak mandi bagai
kubangan air kotor. Di ujung jalan terdapat tempat penuh sesak orang laki-laki menikmati
minuman keras sambil bermain judi. Dikampung inilah seorang anak berusia lima tahun bernama Amin tinggal
bersama Ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci dan Ayahnya yang pekerjaannya
hanya mabuk dan main judi.
Rembulan
telah berada pada peraduannya. Hembusan
angin dari lubang-lubang rumah menyelimuti tubuh munyil yang sedang didekap
hangat seorang Ibu. Dari genting yang pecah Amin melihat bulan bersinar. Amin
bertanya pada Ibunya, “ Apakah bulan itu jauh, Ibu? ”. Terlihat Ibu senyum. “ Bulan
memang sangat jauh, tapi bukankah saat kamu berjalan bulan selalu mengikutimu?
” “ Iya bu, saat aku berjalan bulan
mengikutiku dan saat aku berhenti bulanpun ikut berhenti.” Tanggapan Amin
sambil menatap Ibunya lekat-lekat. “ Itu karena bulan mencintaimu. ” Jawab Ibu.
“ Benarkah itu, bu? ” “ Benar min, karena bulan mencintaimu dia akan selalu
disampingmu meskipun jauh disana, begitupun Ibu yang mencintaimu Ibu akan selalu disampingmu walaupun nantinya Ibu
akan jauh disana. ” “Apakah Ibu mau
pergi jauh?” Ibu hanya tersenyum sambil terus mengelus kepalanya hingga Amin
tertidur di atas ranjang bertikar.
Malam
masih berlanjut. Terdengar suara saling memaki yang membangunkan Amin. Dengan
mata yang belum terbuka sepenuhnya ia melihat Ayahnya memegang botol bir kosong
sisa mabuk-mabukannya, dengan langkah penuh murka mendekati Ibu. Ibunya tersungkur di tanah bersandar pada
dinding dari kayu rapuh. Ibunya terisak-isak memohon ampunan kepada suaminya yang
mengharap uang dari istrinya untuk berjudi. Ayah melempar botol ke dinding
dekat kepala Ibu. Suaranya membengkakkan telinga. Ibupun terus terisak sambil
melindungi kepala dengan dua tangan yang gemetar ketakutan. Amin menangis
diranjangnya dengan meneriakkan kata Ibu. Ketika kakinya hendak turun dari ranjang,
Ibunya melarang dengan teriakkan yang membuat Amin semakin ketakutan. “ Diam
disana, min” Dengan ketakutan Amin hanya terdiam sambil menahan tangisnya
keluar. Mata Ayahnya terlempar ke arah Amin.
Langkah kaki Ayahnya perlahan menuju Amin. “ Apa yang akan kau lakukan?” tanya Ibu
sambil menahan kaki Ayah dengan kedua tangannya. “ Karena kau tak memberiku
uang aku akan menjual anakmu itu.” Jawab Ayah sambil melepaskan tangan Ibu
dengan tendangan hingga Ibu tersungkur lagi. “ Lari min, lari!” teriak Ibu. Tetapi Amin sudah terpojok di
tempatnya. Dia hanya terus menangis dengan terus meneriakkan nama Ibunya. Langkah Ayahnya semakin dekat dengan Amin. Ibu
Amin segera mengambil kayu bakar dan memukul Ayah dengan sisa-sisa kekuatannya.
Malam
yang semakin dingin, Ibu dan Amin terus berlari. Untuk mengalihkan Ayah yang
masih mengejar, Ibu meninggalkan Amin di dekat tong sampah dan menutupinya
dengan kardus-kardus bekas. “ Jangan tinggalkan aku, bu! ” merangkul erat tubuh
Ibunya dengan tangis yang pecah darinya. “ Dengarkan Ibu, Ibu akan datang lagi
untuk menjemputmu.” Amin tetap tidak mau melepaskan pelukannya dan terus
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Amin, ingat bulan yang Ibu ceritakan tadi” Ibu
melepaskan pelukan Amin dan berlari lagi menjauhi kejaran Ayahnya. Amin duduk
sambil menahan isaknya. Amin melemparkan pandangannya ke langit. Bulan tepat di
matanya perpandang. Matanya yang masih penuh peluh mata. kemudian Tersiak
kembali mengingat Ibunya.
Bulan
telah berganti. Cahaya matahari perlahan menghangatkan tubuh Amin yang semalam
tidur hanya berselimutkan kardus dan kepedihan. Amin perlahan membuka matanya.
Ia melihat ke atas, langit tidak gelap lagi. Cahaya matahari yang menyengat ialihat
disela-sela jemarinya. Sambil melihat matahari Amin merenung dan berbicara dalam
hatinya bahwa bulan tidak ada lagi di sisinya sekarang. Air matanya tumpah, ia
teringat kata Ibunya, tapi yang dia dapat hanya kebohongan. Bulan tidak selalu
di sisinya saat pagi bulan akan pergi begitu pula Ibunya. Perutnya perih
kelaparan, Amin berjalan dengan sisa kekuatan untuk mencari makanan. Amin
bingung tidak tahu dimana dia. Dia hanya terus berjalan mengikuti kata hatinya.
Sampai matahari berada diufuk barat Amin belum mendapatkan makanan. Amin
memutuskan kembali ke tong sampah tempat ia ditinggalkan Ibunya. Dia mengorek
sampah penuh harap menemukan sesuap nasi. Amin mendapat nasi kotak sampah dan
memakannya dengan lahap tidak perduli bau sampah mengusik hidungnya. Karena
kecapekan Amin tertidur di dekat tong
sampah dan menutupi dirinya dengan kardus-kardus bekas. Amin mencoba terlelap
dan berharap begitu ia bangun Ibunya datang menjemputnya. Saat Amin tertidur
banyak orang yang lalu lalang tetapi tidak ada satupun yang tahu kalau ada
seorang anak kecil butuh pertolongan disana karena tubuhnya tertutup oleh
kardus. Udara yang semakin dingin membangunkan Amin. Langit telah menghitam.
Kepalanya menoreh ke atas, bulan telah datang lagi. Dalam hatinya Amin
bertanya-tanya, walaupun bulan telah datang tetapi Ibunya belum juga
menjemputnya pulang. Amin memeras kembali air matanya mulai mengering. Pikiran Amin
semain meyakinkan bahwa Ibunya tidak
datang berarti Ibunya tidak sayang padanya. Padahal bulan datang kembali tetapi
kenapa Ibu tidak. Isak tangis Amin semakin keras. Tiba-tiba Amin melihat
bayang-bayang orang seakan menuju ke arahnya. Seorang laki-laki mendatanginya, Amin
ketakutan. “ Tenang nak, aku tidak jahat. Apa yang kau lakukan disini?” Amin
hanya terdiam sambil mencoba menangkap wajahnya melalui sinaran bulan purnama.
“ Apa kamu tersesat ?, dimana orang tuamu, nak?” Orang laki-laki itu mencoba
mendapat kepercayaan Amin. tetapi Amin tidak bergeming dari rasa takutnya.
Laki-laki itu memegang tangan Amin yang mendingin. “ Lepaskan aku!, Orang
dewasa pembohong” teriak Amin kepada laki-laki itu. “ Tenang nak, aku akan
membantumu”. Amin tetap teguh dengan pendiriannya sambil terus berteriak kata
pembohong. Laki-laki itu mengambil sebuah kayu seraya berkata “Aku akan
membantumu, jika aku berbohong kamu boleh memukulku dengan kayu ini.” Aminpun
mengambil kayu itu perlahan dan mencoba mempercayai orang tersebut.
Malam
purnama masih panjang, Amin tidak ingat jalan kerumahnya. Dan laki-laki itu
memutuskan untuk membawa Amin ke kantor polisi. Polisi mengatakan bahwa kemarin
ada seorang Ibu bernama susanti mencari anaknya bernama Amin. Polisipun memberi
alamat rumahnya. Laki-laki itu mengantarkan Amin pulang. Lingkungan perkampungan
pinggiran Ibu kota ini yang penuh dengan sampah-sampah yang menyebabkan bau
tidak sedap mengudara dan banyaknya orang bertampang preman mabuk-mabukan di
pingggir jalan, membuat laki-laki ini
hanya menggeleng-geleng kepala sedari tadi.
Akhirnya
Amin sampai di gubuk kecilnya. Rumah kecil itu ramai di penuhi warga. Amin
melihat bendera kuning menancap di pohon rambutan yang biasanya ia panjat. Aminpun
berlari ke dalam seolah-olah ia tahu apa yang sedang terjadi. Di sana Amin
melihat Ibunya sudah tergeletak tidak bernyawa. Tangis Amin pun pecah. Mata dan
hatinya seolah melebur menjadi air mata. Laki-laki itu bertanya kepada warga
yang datang dan bertanya apa yang sedang terjadi. Ternyata Ibu Amin kemarin
mengalami kecelakan ketika mencari Amin. Ibu Amin berkata bahwa ia telah
berjanji untuk menjemput Amin. Tetapi saat ia menjemputnya justru Amin tidak
ada di sana. Ibu Amin sangat menyesal tidak bisa menjadi bulan seperti yang ia
janjikan kepada Amin. selesai.
0 komentar:
Posting Komentar