this my blog

Minggu, 15 Mei 2016

cerpen : Mengharap Sang Bulan Datang

Mengharap Sang Bulan Datang

Malam yang cerah. Langit terbentang luas tanpa diselimuti  awan. Bintang tersebar menjadi lukisan dilangit. Perkampungan dimana sampah-sampah yang menumpuk di sana-sini dan sungai yang digunakan  Ibu-Ibu untuk mencuci dan tempat  anak-anak mandi bagai kubangan air kotor. Di ujung jalan terdapat tempat penuh sesak orang laki-laki menikmati minuman keras sambil bermain judi. Dikampung inilah seorang anak  berusia lima tahun bernama Amin tinggal bersama Ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci dan Ayahnya yang pekerjaannya hanya mabuk dan main judi.
Rembulan telah berada pada peraduannya.  Hembusan angin dari lubang-lubang rumah menyelimuti tubuh munyil yang sedang didekap hangat seorang Ibu. Dari genting yang pecah Amin melihat bulan bersinar. Amin bertanya pada Ibunya, “ Apakah bulan itu jauh, Ibu? ”. Terlihat Ibu senyum. “ Bulan memang sangat jauh, tapi bukankah saat kamu berjalan bulan selalu mengikutimu? ”  “ Iya bu, saat aku berjalan bulan mengikutiku dan saat aku berhenti bulanpun ikut berhenti.” Tanggapan Amin sambil menatap Ibunya lekat-lekat. “ Itu karena bulan mencintaimu. ” Jawab Ibu. “ Benarkah itu, bu? ” “ Benar min, karena bulan mencintaimu dia akan selalu disampingmu meskipun jauh disana, begitupun Ibu yang mencintaimu  Ibu akan selalu disampingmu walaupun nantinya Ibu akan jauh disana. ”  “Apakah Ibu mau pergi jauh?” Ibu hanya tersenyum sambil terus mengelus kepalanya hingga Amin tertidur di atas ranjang bertikar.
Malam masih berlanjut. Terdengar suara saling memaki yang membangunkan Amin. Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya ia melihat Ayahnya memegang botol bir kosong sisa mabuk-mabukannya, dengan langkah penuh murka mendekati  Ibu. Ibunya tersungkur di tanah bersandar pada dinding dari kayu rapuh. Ibunya terisak-isak memohon ampunan kepada suaminya yang mengharap uang dari istrinya untuk berjudi. Ayah melempar botol ke dinding dekat kepala Ibu. Suaranya membengkakkan telinga. Ibupun terus terisak sambil melindungi kepala dengan dua tangan yang gemetar ketakutan. Amin menangis diranjangnya dengan meneriakkan kata Ibu. Ketika kakinya hendak turun dari ranjang, Ibunya melarang dengan teriakkan yang membuat Amin semakin ketakutan. “ Diam disana, min” Dengan ketakutan Amin hanya terdiam sambil menahan tangisnya keluar. Mata Ayahnya terlempar ke arah  Amin. Langkah kaki Ayahnya perlahan menuju Amin. “ Apa yang akan kau lakukan?” tanya Ibu sambil menahan kaki Ayah dengan kedua tangannya. “ Karena kau tak memberiku uang aku akan menjual anakmu itu.” Jawab Ayah sambil melepaskan tangan Ibu dengan tendangan hingga Ibu tersungkur lagi. “ Lari min, lari!”  teriak Ibu. Tetapi Amin sudah terpojok di tempatnya. Dia hanya terus menangis dengan terus meneriakkan nama Ibunya.  Langkah Ayahnya semakin dekat dengan Amin. Ibu Amin segera mengambil kayu bakar dan memukul Ayah dengan sisa-sisa kekuatannya.
Malam yang semakin dingin, Ibu dan Amin terus berlari. Untuk mengalihkan Ayah yang masih mengejar, Ibu meninggalkan Amin di dekat tong sampah dan menutupinya dengan kardus-kardus bekas. “ Jangan tinggalkan aku, bu! ” merangkul erat tubuh Ibunya dengan tangis yang pecah darinya. “ Dengarkan Ibu, Ibu akan datang lagi untuk menjemputmu.” Amin tetap tidak mau melepaskan pelukannya dan terus menggeleng-gelengkan kepalanya. “Amin, ingat bulan yang Ibu ceritakan tadi” Ibu melepaskan pelukan Amin dan berlari lagi menjauhi kejaran Ayahnya. Amin duduk sambil menahan isaknya. Amin melemparkan pandangannya ke langit. Bulan tepat di matanya perpandang. Matanya yang masih penuh peluh mata. kemudian Tersiak kembali mengingat Ibunya.
Bulan telah berganti. Cahaya matahari perlahan menghangatkan tubuh Amin yang semalam tidur hanya berselimutkan kardus dan kepedihan. Amin perlahan membuka matanya. Ia melihat ke atas, langit tidak gelap lagi. Cahaya matahari yang menyengat ialihat disela-sela jemarinya. Sambil melihat matahari Amin merenung dan berbicara dalam hatinya bahwa bulan tidak ada lagi di sisinya sekarang. Air matanya tumpah, ia teringat kata Ibunya, tapi yang dia dapat hanya kebohongan. Bulan tidak selalu di sisinya saat pagi bulan akan pergi begitu pula Ibunya. Perutnya perih kelaparan, Amin berjalan dengan sisa kekuatan untuk mencari makanan. Amin bingung tidak tahu dimana dia. Dia hanya terus berjalan mengikuti kata hatinya. Sampai matahari berada diufuk barat Amin belum mendapatkan makanan. Amin memutuskan kembali ke tong sampah tempat ia ditinggalkan Ibunya. Dia mengorek sampah penuh harap menemukan sesuap nasi. Amin mendapat nasi kotak sampah dan memakannya dengan lahap tidak perduli bau sampah mengusik hidungnya. Karena kecapekan Amin tertidur di dekat  tong sampah dan menutupi dirinya dengan kardus-kardus bekas. Amin mencoba terlelap dan berharap begitu ia bangun Ibunya datang menjemputnya. Saat Amin tertidur banyak orang yang lalu lalang tetapi tidak ada satupun yang tahu kalau ada seorang anak kecil butuh pertolongan disana karena tubuhnya tertutup oleh kardus. Udara yang semakin dingin membangunkan Amin. Langit telah menghitam. Kepalanya menoreh ke atas, bulan telah datang lagi. Dalam hatinya Amin bertanya-tanya, walaupun bulan telah datang tetapi Ibunya belum juga menjemputnya pulang. Amin memeras kembali air matanya mulai mengering. Pikiran Amin semain meyakinkan bahwa Ibunya  tidak datang berarti Ibunya tidak sayang padanya. Padahal bulan datang kembali tetapi kenapa Ibu tidak. Isak tangis Amin semakin keras. Tiba-tiba Amin melihat bayang-bayang orang seakan menuju ke arahnya. Seorang laki-laki mendatanginya, Amin ketakutan. “ Tenang nak, aku tidak jahat. Apa yang kau lakukan disini?” Amin hanya terdiam sambil mencoba menangkap wajahnya melalui sinaran bulan purnama. “ Apa kamu tersesat ?, dimana orang tuamu, nak?” Orang laki-laki itu mencoba mendapat kepercayaan Amin. tetapi Amin tidak bergeming dari rasa takutnya. Laki-laki itu memegang tangan Amin yang mendingin. “ Lepaskan aku!, Orang dewasa pembohong” teriak Amin kepada laki-laki itu. “ Tenang nak, aku akan membantumu”. Amin tetap teguh dengan pendiriannya sambil terus berteriak kata pembohong. Laki-laki itu mengambil sebuah kayu seraya berkata “Aku akan membantumu, jika aku berbohong kamu boleh memukulku dengan kayu ini.” Aminpun mengambil kayu itu perlahan dan mencoba mempercayai orang tersebut.
Malam purnama masih panjang, Amin tidak ingat jalan kerumahnya. Dan laki-laki itu memutuskan untuk membawa Amin ke kantor polisi. Polisi mengatakan bahwa kemarin ada seorang Ibu bernama susanti mencari anaknya bernama Amin. Polisipun memberi alamat rumahnya. Laki-laki itu mengantarkan Amin pulang. Lingkungan perkampungan pinggiran Ibu kota ini yang penuh dengan sampah-sampah yang menyebabkan bau tidak sedap mengudara dan banyaknya orang bertampang preman mabuk-mabukan di pingggir jalan, membuat laki-laki ini  hanya menggeleng-geleng kepala sedari tadi.
Akhirnya Amin sampai di gubuk kecilnya. Rumah kecil itu ramai di penuhi warga. Amin melihat bendera kuning menancap di pohon rambutan yang biasanya ia panjat. Aminpun berlari ke dalam seolah-olah ia tahu apa yang sedang terjadi. Di sana Amin melihat Ibunya sudah tergeletak tidak bernyawa. Tangis Amin pun pecah. Mata dan hatinya seolah melebur menjadi air mata. Laki-laki itu bertanya kepada warga yang datang dan bertanya apa yang sedang terjadi. Ternyata Ibu Amin kemarin mengalami kecelakan ketika mencari Amin. Ibu Amin berkata bahwa ia telah berjanji untuk menjemput Amin. Tetapi saat ia menjemputnya justru Amin tidak ada di sana. Ibu Amin sangat menyesal tidak bisa menjadi bulan seperti yang ia janjikan kepada Amin. selesai.


































0 komentar:

Posting Komentar