this my blog

Rabu, 18 Mei 2016

MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN “ ENAM MASALAH DALAM ISU MUTU PENDIDIKAN INDONESIA ”


MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN
 “ ENAM MASALAH DALAM ISU MUTU PENDIDIKAN INDONESIA ”



 








NAMA: DIYAH AYUK WULANDARI
NIM: 150210103008
KELAS: N

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Enam Masalah dalam Isu Mutu Pendidikan Indonesia ” tanpa halangan dan selesai tepat waktu.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis sadar, makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Dan akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan seluruh pembaca pada umumnya.



Jember, 06 Desember 2015

Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………...…………1
DAFTAR ISI……………………………………………………...……………..2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang……………………….………………………………......3
B.     PerumusanMasalah…...…………………………………………….….....3
C.     Tujuan…………………………………………………….……………….3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Realita Pendidikan Indonesia....................................................................4
B.     Masalah-Masalah Pendidikan Di Indonesia...............................................5
C.     Cara peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia.....................................10           
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan………………………..……………..………………….…..12
B.     Saran ………..……………..……………..…………...…………...........12
DAFTAR PUSTAKA…………………………..…….………...……..….…….13








BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Pemimpin pemerintahan terus berganti. Sepanjang masa kampanye pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu tema paling digemari para calon presiden dalam orasi politik. Namun, mereka tidak menyentuh problem mendasar pendidikan, bahkan pemahaman mereka atas isu pendidikan terkesan kurang mendalam. Ratusan ribu sekolah rusak, jutaan anak putus sekolah, dan hanya segelintir lulusan SMA melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah masalah pendidikan yang sering kita jumpai dan saksikan, dan telah ada program dari pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun dan adanya beasiswa-beasiswa misalnya Bidikmisi. Sayangnya, Terdapat enam hal mendasar yang menjadi isu terkait mutu pendidikan indonesia yang belum terurus pemerintahan secara penuh, yaitu kualitas guru dan tenaga kependidikan, kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
 
1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimana realita pendidikan di Indonesia?
2.      Bagaimana masalah-masalah yang terjadi dalam pedidikan Indonesia?
3.      Bagaimana cara peningkatan pendidikan di Indonesia ?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui  realita pendidikan di Indonesia?
2.      Memahami  masalah-masalah yang terjadi dalam pedidikan Indonesia?
3.      Mengetahui cara peningkatan pendidikan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Realita pendidikan Indonesia
       Pendidikan merupakan instrumen penting yang sangat afektif untuk melakukan transformasi peradaban suatu bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan berpengaruh besar bagi pembentukan kepribadian manusia dan sekaligus jati diri suatu bangsa. Sebab dengan pendidikan, manusia di harapkan mampu membangun diri, komunitas dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan tidak lain adalah media pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil), baik dalam hal peningkatan pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi), maupun keterampilan (psikomotor).
Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat. Namun setelah 12 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan.
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
Menurut Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, yaitu kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, pemilik),  kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.

2.2  Masalah-masalah pendidikan di indonesia
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang merupakan proses yang banyak di jumpai masalah yang memerlukan pemikiran pemecahannya. Seperti yang telah disebutkan diatas, selain adaanya masalah putus sekolah, namun ada 6 masalah mendasar yang terjadi dalam pendidkan indonesia yaitu kualitas guru dan tenaga kependidikan, kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah.
Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi. Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
Selain itu, banyak guru yang mengajar di luar bidang keahliannya, yang secara teknis disebut mismatch. Contoh ekstrem, guru sejarah mengajar matematika dan IPA, yang terutama banyak dijumpai di madrasah (MI, MTs, MA). Guru mismatch ini jelas tidak mempunyai kompetensi untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat menurunkan mutu aktivitas pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu guru mutlak dilakukan yang bisa ditempuh melalui program sertifikasi dan penyetaraan D3 dan S1 menurut bidang studi yang relevan. Namun, upaya ini harus disertai pula dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian insentif. Ini sangat penting agar motivasi guru dalam mengajar makin kuat dan semangat pengabdian dalam menjalankan tugas mulia sebagai pendidik kian bergelora.
Kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi masalah yang harus diperbaiki. Kurikulum harus mengalami karena beberapa faktor, yaitu adanya perkembangan dan perubahan bangsa yang satu dengan yang lain, berkembangnya industri dan produksi atau teknologi, orientasi politik dan praktek kenegaraan, pandangan intelektual yang berubah, pemikiran baru mengenai proses belajar-mengajar, serta eksploitasi ilmu pengetahuan.
Pada tahun 2014 telah diberlakukan kurikulum 2013. Namun oleh Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan diberhentikan dan hanya digunakan oleh sekolah-sekolah yang telah siap. Alasan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan menghentikan penggunaan kerikulum 2013 adalah kurikulum 2013 belum dievaluasi, namun sudah diterapkan ke seluruh sekolah. Evaluasi untuk mengukur konsistensi ide dengan desain, konsistensi desain dengan materi ajar dan dampak pemberlakukan kurikulum. Akhirnya karena belum dievaluasi, Guru dan anak-anak merasa kurikulum menjadi membebani. Padahal kurikulum harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Persoalan buku kurikulum 2013 yang lambat sampai ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga menjadi penyebab. Selain itu, pelatihan secara tuntas kepada guru-guru untuk menerapkan kurikulum juga belum terwujud. Ini membuat penerapan kurikulum menjadi lambat. Dengan kurikulum 2013, guru-guru tidak bisa mengajar dengan baik, karena disibukkan dengan persoalan administratif.
Mengingat sering adanya perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
Fenomena yang terjadi saat ini di tingkat sekolah adalah masih diterapkannya pembelajaran dengan metode sistem ceramah yang kurang efektif. Metode ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem pembelajaran. Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas, metode dengan menggunakan sistem diskusi tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan di ajak untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda dengan metode ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya bisa menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung lupa atau bahkan tidak mengeri sama sekali terhadap apa yang guru sampaikan.
Metode pembelajaran di Indonesia juga masih banyak kekurangan, Sistem yang hanya berpaku pada buku paket inilah yang perlu di ubah persepsinya. Sebuah buku memang diperlukan sebagai bagian dari proses belajar mengajar, namun tidak harus berpaku pada buku tersebut. Selama ini, peserta didik hanya berkutat dengan buku-buku yang sudah di tentukan oleh para pendidik. Sehingga peserta didik tidak memiliki wawasan yang luas dan hanya berkutat pada seputar buku tersebut. Sudah sebaiknya sistem ini diubah. Pembelajaran yang baik adalah pelajaran yang berasal dari sumber manapun. Dengan catatan sumber referensi tepercaya. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti saat ini, mencari informasi dan referensi bisa secepat kilat. Dengan hanya bermodal koneksi internet, semua bisa didapatkan. Maka jangan heran jika saat ini generasi bangsa ini menjadi menjadi malas membaca.
Selain itu, metode pendidikan indonesia juga masih menggunakan  Metode ceramah. Metode ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem pembelajaran. Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas,  metode dengan menggunakan sistem diskusi tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan di ajak untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda dengan metode ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya bisa menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung lupa atau bahkan tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang guru sampaikan.
Selama ini bahan ajar pendidikan di Indonesia lebih diarahkan pada pencapaian materi sebanyak-banyaknya daripada mencapai suatu kemampuan atau kompetensi tertentu. Sehingga outputnya kurang berkualitas di bandingkan dengan Negara lain. Dengan pesatnya kemajuan di berbagai bidang kehidupan, tentu ilmu pengetahuan mendapat porsi dalam kehidupan manusia. Banyak sekali disiplin ilmu pengetahuan baru yang pada dekade sebelumnya belum dikenal. Oleh karena itu bahan ajar paling tidak harus disesuaikan dengan berkembangannya ilmu pengetahuan, agar anak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi kehidupan di masa depan.
Dari dulu hingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya sekolah-sekolah yang belum menerima bantuan untuk perbaikan sedangkan proses perbaikan dan pembangunan sekolah yang rusak atau tidak layak dilakukan secara sporadis sehingga tidak kunjung selesai. Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, dan Sulawesi Barat 898. Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasinya. Solusi yang dapat membatu pemerintah untuk meringankan beban pendidikan di Indonesia.
Dan masalah yang terakhir adalah manajemen sekolah.
Secara mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah masih rendah.  Hal ini sejalan dengan pendapat (Sagala, 2006:176) bahwa kepala sekolah belum responsif terhadap tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah berlangsung by the way bukan by design dengan ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah tidak terlepas dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk mengelolah sekolah. Ia juga diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dengan seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti pemerintah (Dinas Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang baik.
Secara makro, peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat menentukan keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah dana atau anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Permasalahan tersebut adalah akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari program pendidikan gratis dari Pemerintah Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak pada kegiatan kesiswaan di sekolah, dan antusiasme guru untuk  mengajar mengalami penurunan karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. Dengan minimnya anggaran pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah terus berupaya untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% sehingga mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.3  Cara meningkatkan mutu pendidikan Indonesia
Untuk membatu mengatasi masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Seperti yang telah diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional.
Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.
Untuk tingkat makro, pemerintah selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara sosiologis, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar untuk terciptanya masyarakat madani yang demokratis dan beradab. Dengan demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka isu-isu tentang anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga sekolah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.

























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, yaitu kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, pemilik), kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
 Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.

3.2  Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan agar para pembaca bisa tersadar dan ikut membantu meningkatkan mutu pendidikan Indonesia  sesuai dengan profesi atau kemampuan kita masing-masing.







DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Mushthafa, M. 2013. Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta
Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta




0 komentar:

Posting Komentar