MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN
“ ENAM MASALAH DALAM ISU MUTU PENDIDIKAN
INDONESIA ”
NAMA: DIYAH AYUK WULANDARI
NIM: 150210103008
KELAS: N
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN
PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Enam Masalah dalam Isu Mutu Pendidikan Indonesia ”
tanpa halangan dan selesai tepat waktu.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Penulis
sadar, makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis berharap saran
dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Dan
akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri
dan seluruh pembaca pada umumnya.
Jember,
06 Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………...…………1
DAFTAR
ISI……………………………………………………...……………..2
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang……………………….………………………………......3
B. PerumusanMasalah…...…………………………………………….….....3
C. Tujuan…………………………………………………….……………….3
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Realita Pendidikan Indonesia....................................................................4
B.
Masalah-Masalah Pendidikan Di
Indonesia...............................................5
C.
Cara peningkatan Mutu
Pendidikan Di Indonesia.....................................10
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………..……………..………………….…..12
B. Saran
………..……………..……………..…………...…………...........12
DAFTAR
PUSTAKA…………………………..…….………...……..….…….13
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Pemimpin pemerintahan terus berganti. Sepanjang masa
kampanye pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu tema paling digemari
para calon presiden dalam orasi politik. Namun, mereka tidak menyentuh problem
mendasar pendidikan, bahkan pemahaman mereka atas isu pendidikan terkesan
kurang mendalam. Ratusan ribu sekolah rusak, jutaan anak putus
sekolah, dan hanya segelintir lulusan SMA melanjutkan ke pendidikan tinggi
adalah masalah pendidikan yang sering kita jumpai dan saksikan, dan
telah ada program dari pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun dan adanya
beasiswa-beasiswa misalnya Bidikmisi. Sayangnya, Terdapat enam hal mendasar
yang menjadi isu terkait mutu pendidikan indonesia yang belum terurus
pemerintahan secara penuh, yaitu kualitas guru dan tenaga kependidikan,
kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran,
dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya
meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu
pendidikan.
1.2 Rumusan
masalah
1. Bagaimana
realita pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana
masalah-masalah yang terjadi dalam pedidikan Indonesia?
3. Bagaimana
cara peningkatan pendidikan di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui realita pendidikan di Indonesia?
2. Memahami masalah-masalah yang terjadi dalam pedidikan
Indonesia?
3. Mengetahui
cara peningkatan pendidikan di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Realita
pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan instrumen penting
yang sangat afektif untuk melakukan transformasi peradaban suatu bangsa. Dalam
konteks ini, pendidikan berpengaruh besar bagi pembentukan kepribadian manusia
dan sekaligus jati diri suatu bangsa. Sebab dengan pendidikan, manusia di
harapkan mampu membangun diri, komunitas dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan
tidak lain adalah media pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil), baik dalam
hal peningkatan pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi), maupun keterampilan (psikomotor).
Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa
dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan
tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di
sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda,
dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi
konsisten memperjuangkan amanat rakyat. Namun setelah 12 tahun teriakan
reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan
kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk
tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih
mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan.
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi
perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk
Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun
2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan
tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011
oleh UNESCO ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut
empat peringkat dari Malaysia (65).
Menurut Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung
Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka
putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, yaitu
kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, pemilik), kurikulum pengajaran, metode pembelajaran,
bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini
saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang
berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
2.2 Masalah-masalah
pendidikan di indonesia
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang merupakan
proses yang banyak di jumpai masalah yang memerlukan pemikiran pemecahannya. Seperti yang
telah disebutkan diatas, selain adaanya masalah putus sekolah, namun ada 6
masalah mendasar yang terjadi dalam pendidkan indonesia yaitu
kualitas guru dan tenaga kependidikan, kurikulum pengajaran, metode
pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah.
Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi
tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat
guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di
ruang kelas. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang
bersangkutan.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di
Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi
pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan
S-1 atau lebih sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari
persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang
memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi
syarat sertifikasi. Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata.
Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil
masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia
kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan
guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang
pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk
menjamin kelancaran proses belajar.
Selain itu, banyak guru yang mengajar di luar bidang
keahliannya, yang secara teknis disebut mismatch. Contoh ekstrem, guru sejarah
mengajar matematika dan IPA, yang terutama banyak dijumpai di madrasah (MI,
MTs, MA). Guru mismatch ini jelas tidak mempunyai kompetensi untuk mengajar
mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat menurunkan mutu
aktivitas pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu guru mutlak
dilakukan yang bisa ditempuh melalui program sertifikasi dan penyetaraan D3 dan
S1 menurut bidang studi yang relevan. Namun, upaya ini harus disertai pula
dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian insentif. Ini sangat
penting agar motivasi guru dalam mengajar makin kuat dan semangat pengabdian
dalam menjalankan tugas mulia sebagai pendidik kian bergelora.
Kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi
masalah yang harus diperbaiki. Kurikulum harus mengalami karena beberapa
faktor, yaitu adanya perkembangan dan perubahan bangsa
yang satu dengan yang lain, berkembangnya industri dan produksi atau teknologi,
orientasi politik dan praktek kenegaraan,
pandangan intelektual yang berubah, pemikiran baru mengenai proses
belajar-mengajar, serta eksploitasi ilmu pengetahuan.
Pada tahun 2014 telah diberlakukan kurikulum 2013.
Namun oleh Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan diberhentikan
dan hanya digunakan oleh sekolah-sekolah yang telah siap. Alasan Menteri
Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies
Baswedan menghentikan penggunaan kerikulum 2013 adalah kurikulum 2013 belum
dievaluasi, namun sudah diterapkan ke seluruh sekolah. Evaluasi untuk mengukur
konsistensi ide dengan desain, konsistensi desain dengan materi ajar dan dampak
pemberlakukan kurikulum. Akhirnya karena belum dievaluasi, Guru dan anak-anak
merasa kurikulum menjadi membebani. Padahal kurikulum harus menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan. Persoalan buku kurikulum 2013 yang lambat sampai ke
sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga menjadi penyebab. Selain itu,
pelatihan secara tuntas kepada guru-guru untuk menerapkan kurikulum juga belum
terwujud. Ini membuat penerapan kurikulum menjadi lambat. Dengan kurikulum
2013, guru-guru tidak bisa mengajar dengan baik, karena disibukkan dengan
persoalan administratif.
Mengingat sering adanya perubahan kurikulum
pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Karena fokus
pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya kurikulum
yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum
lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
Fenomena yang terjadi saat ini di tingkat sekolah
adalah masih diterapkannya pembelajaran dengan metode sistem ceramah yang kurang
efektif. Metode ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja
pada sistem pembelajaran. Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas, metode
dengan menggunakan sistem diskusi tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari
diskusi inilah, siswa akan di ajak untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih
luas lagi. Berbeda dengan metode ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi
mengantuk. Bukannya bisa menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa
akan cenderung lupa atau bahkan tidak mengeri sama sekali terhadap apa yang
guru sampaikan.
Metode pembelajaran di Indonesia juga masih banyak
kekurangan, Sistem yang hanya berpaku pada buku paket inilah yang perlu di ubah
persepsinya. Sebuah buku memang diperlukan sebagai bagian dari proses belajar mengajar,
namun tidak harus berpaku pada buku tersebut. Selama ini, peserta didik hanya
berkutat dengan buku-buku yang sudah di tentukan oleh para pendidik. Sehingga peserta
didik tidak memiliki wawasan yang luas dan hanya berkutat pada seputar buku
tersebut. Sudah sebaiknya sistem ini diubah. Pembelajaran yang baik adalah
pelajaran yang berasal dari sumber manapun. Dengan catatan sumber referensi
tepercaya. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti saat ini, mencari
informasi dan referensi bisa secepat kilat. Dengan hanya bermodal koneksi
internet, semua bisa didapatkan. Maka jangan heran jika saat ini generasi
bangsa ini menjadi menjadi malas membaca.
Selain itu, metode pendidikan indonesia juga masih
menggunakan Metode ceramah. Metode
ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem
pembelajaran. Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas, metode dengan menggunakan sistem diskusi
tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan di ajak
untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda dengan metode
ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya bisa menyerap
materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung lupa atau bahkan
tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang guru sampaikan.
Selama ini bahan ajar pendidikan di Indonesia lebih diarahkan pada
pencapaian materi sebanyak-banyaknya daripada mencapai suatu kemampuan atau
kompetensi tertentu. Sehingga outputnya kurang
berkualitas di bandingkan dengan Negara lain. Dengan pesatnya kemajuan di
berbagai bidang kehidupan, tentu ilmu pengetahuan mendapat porsi dalam
kehidupan manusia. Banyak sekali disiplin ilmu pengetahuan baru yang pada
dekade sebelumnya belum dikenal. Oleh karena itu bahan ajar paling tidak harus
disesuaikan dengan berkembangannya ilmu pengetahuan, agar anak memiliki bekal
yang cukup untuk menghadapi kehidupan di masa depan.
Dari dulu hingga sekarang masalah infrastruktur
pendidikan masih menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini
dikarenakan masih banyaknya sekolah-sekolah yang belum menerima bantuan untuk
perbaikan sedangkan proses perbaikan dan pembangunan sekolah yang rusak atau
tidak layak dilakukan secara sporadis sehingga tidak kunjung selesai. Berdasarkan
data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang
kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada
tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas
dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas
rusak terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi
Tengah 1.186, Lampung 911, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten
4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972,
dan Sulawesi Barat 898. Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan di
Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasinya. Solusi yang dapat
membatu pemerintah untuk meringankan beban pendidikan di Indonesia.
Dan masalah yang terakhir adalah manajemen sekolah.
Dan masalah yang terakhir adalah manajemen sekolah.
Secara
mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah
masih rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat (Sagala, 2006:176) bahwa kepala sekolah belum responsif
terhadap tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah
berlangsung by the way bukan by design dengan
ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah tidak terlepas
dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk mengelolah sekolah. Ia juga
diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dengan
seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga
administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti
pemerintah (Dinas Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah,
siswa dan orang tua siswa. Dengan
demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang
baik.
Secara
makro, peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat menentukan
keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah dana atau anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Permasalahan
tersebut adalah akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari program
pendidikan gratis dari Pemerintah Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan
penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak pada kegiatan kesiswaan
di sekolah, dan antusiasme guru untuk mengajar mengalami penurunan
karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. Dengan minimnya anggaran pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah
terus berupaya untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% sehingga
mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana diamanatkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2.3 Cara
meningkatkan mutu pendidikan Indonesia
Untuk membatu mengatasi masalah pendidikan
dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan
menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan
kelompok masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan di
Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Seperti yang telah diamanatkan oleh Pasal 31
Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan
pendidikan nasional.
Langkah-langkah yang perlu
diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan
peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala
mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip
manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah,
komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.
Untuk tingkat makro, pemerintah
selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti
ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara
sosiologis, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar
untuk terciptanya masyarakat madani yang demokratis dan beradab. Dengan
demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka isu-isu tentang
anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga
sekolah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi
perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk
Semua atau education for all (EFA) di Indonesia
menurun tiap tahunnya. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga
menghadapi berbagai masalah lain, yaitu kualitas guru dan
tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, pemilik), kurikulum pengajaran,
metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen
sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas
belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.
Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan
kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung
pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen
pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)
yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam
bingkai otonomi pendidikan.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan agar para
pembaca bisa tersadar dan ikut membantu meningkatkan mutu pendidikan
Indonesia sesuai dengan profesi atau kemampuan kita masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Mushthafa,
M. 2013. Sekolah dalam Himpitan Google
dan Bimbel. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta
Sagala,
Syaiful. 2006. Konsep dan Makna
Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar.
Bandung: Alfabeta
0 komentar:
Posting Komentar